Thursday, October 31, 2019

Research Paper (Based on Literature Reviews) Example | Topics and Well Written Essays - 1750 words

(Based on Literature Reviews) - Research Paper Example Currently in legislation is the Fairness in Cocaine Sentencing Act of 2009, which would equalize penalties for crack and powder cocaine, thus correcting the injustice. The previous seven bills similar to the Fairness in Cocaine Sentencing Act of 2009 have not been approved. Congress and the President need to review and pass this bill and make it a reality. The main objective of this paper is to examine the facts or statements of truth that can be examined in the context of racial discrimination in the sentencing of drug offenders and to arrive at conclusions accordingly. It is known that disparities in sentencing are arbitrary for a number of reasons. Before the introduction of the federal compulsory minimum sentencing in 1986 for drugs related violations, the federal drug sentencing in the case of African Americans was higher by 11 percent as compared to whites. After four years this average was higher by 49 percent. In 2000 the proportion of African American people lodged in jails was much more than those in higher education. On the basis of such facts, leading analysts concluded that the country’s crime policy was a significant contributing factor in disrupting African American families. The impact of the compulsory minimum imprisonment for drug offenses contributed in leading to unreasonably high rate of incarceration and a lso separated family members from each other on account of minor crimes amongst their children. Such practices not only created large scale disfranchisement amongst those that were convicted of felony but also prohibited people that were incarcerated earlier, from getting appropriate social services in improving their families (Russel, 2005). These statements will be examined in the light of available sources and efforts will be made to determine the strength in such assertions. As reported recently by the Sentencing Commission, there is a strong need to revise the

Tuesday, October 29, 2019

Peer Pressure Essay Example for Free

Peer Pressure Essay According to Took (2007), making decisions on your own is hard enough, but when other people get involved and try to pressure you one way or another it can be even harder. People who are your age, like your classmates, are called peers. When they try to influence how you act, to get you to do something, its called Peer Pressure. Its something everyone has to deal with even adults. Peer Pressure is one thing that all teens have in common. You cant escape it; it is everywhere. No matter how popular you are, how well liked you may be or how together you feel, sooner or later you will have to face peer pressure. Whether it is pressure to conform to a group norm or pressure to act a certain way. People are influenced by peers because they want to fit in, be like peers they admire, do what others are doing, or have what others have. Mueller states that, â€Å"The ugly reality is that Peer Pressure reaches its greatest intensity at just the age when kids tend to be most insensitive and cruel. † Every Peer group has its own identity and which greatly depends on the personality of its members. Feller (1995), has stated that despite the differences between groups, the group members always try and influence each other. They have some conformity to common set of rules and norms, which a member must not break without being forced to leave the group. Also Peer Pressure can be either positive or negative. Pressure exerted in a positive way can help motivate you on to be the best you can be. Keeping up with the schoolwork or being more articipative in class are the traits of positive Peer Pressure exerted on you by the group. Negative Peer Pressure can make you do things you don’t want to do, like having early sex or taking drugs. It can make you feel depressed and de-motivated. â€Å"Responding to Peer Pressure is part of human nature — but some people are more likely to give in, and others are better able to resist and stand their ground. People who are low on confidence and those who tend to follow rather than lead could be more likely to seek their peers pproval by giving in to a risky challenge or suggestion. People who are unsure of themselves, new to the group, or inexperienced with peer pressure may also be more likely to give in,† (Lyness, 2006). Also Feller (1995), in his study, states that Peer Pressure can be very subtle-you may not realize its happening. Some groups use Peer Pressure as a tool to gain power over members, whereas other don’t intend to exert the pressure, they just do that naturally. According to Hardcastle, there are certain personality traits or risk factors that make you ore prone to give in to pressure. Some kids give in to Peer Pressure because of low self esteem and lack of confidence, whereas others give in to pressure because they want to be liked, to fit in, or because they feel that others would make fun of them if they don’t go along with the group. Messier, states that, â€Å"The only pressure Im under is the pressure Ive put on myself. † The idea that everyones doing it may influence some kids to leave their better judgment, or their common sense, behind.

Sunday, October 27, 2019

Pembangunan Ekonomi Seimbang Dan Komprehensif

Pembangunan Ekonomi Seimbang Dan Komprehensif YB. DATO MUSTAFA MOHAMAD MENTERI DI JABATAN PERDANA MENTERI DR. AMINI AMIR ABDULLAH PENGARAH PUSAT ISLAM UNIVERSITI PUTRA MALAYSIA Bermaksud: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu (kebahagiaan) di akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagian kamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerosakan di mukabumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerosakan. [Surah Al-Qasas: 77] Pengenalan Pembangunan Malaysia berprinsip ekonomi Islam. Kerajaan telah memperkenalkan konsep Islam Hadhari dalam usaha meneruskan agenda pembangunan negara yang memberi penekanan kepada pembangunan manusia, masyarakat dan negara. Konsep Islam Hadhari memperjelaskan lagi apa yang dimaksudkan dengan pembangunan menyeluruh yang menjadi teras Wawasan 2020 terutama dari segi keseimbangan pembangunan kebendaan dengan kerohanian. Kerajaan juga berhasrat untuk memperkukuhkan lagi sistem ekonomi Islam di Malaysia khususnya dalam sektor kewangan Islam. YAB Dato Seri Abdullah Haji Ahmad Badawi menegaskan: Islam Hadhari memberi tekanan kepada pembangunan. Pembangunan yang menjurus kepada pembinaan peradaban. Peradaban yang dicanai dengan pegangan Islam dan memberi fokus kepada usaha mempertingkatkan mutu kehidupan. Mempertingkatkan mutu kehidupan melalui penguasaan ilmu, pembangunan insan, pembangunan kesihatan serta pembangunan fizikal. Mempertingkatkan mutu kehidupan dengan mengamalkan sistem ekonomi, sistem perdagangan dan sistem kewangan yang dinamik. Pembangunan sepadu dan seimbang bagi melahirkan umat yang berilmu dan beriman, bertamadun tinggi, berakhlak mulia, jujur lagi amanah, serta bersedia menangani cabaran semasa dunia global. (Ucapan Dasar Presiden UMNO dlm Perhimpunan Agung UMNO 2004 di Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur). Islam tidak mengakui wujudnya pertentangan di antara kehidupan keduniaan dengan kerohanian. Islam tertonjol bukan sekadar untuk membentuk peribadi manusia, tetapi juga membentuk masyarakat yang sejahtera dan bahagia sehingga ajaran Allah di bumi ini dapat ditegakkan. Islam adalah satu-satunya agama yang menganjurkan keseimbangan antara keperluan dunia dan akhirat, rohani dan jasmani. Banyak ayat-ayat al-Quran yang menggalakkan manusia untuk meraih kedudukan yang seimbang antara keperluan-keperluan rohani dan jasmani. Antaranya ialah firman Allah s.a.w. : Bermaksud: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu (kebahagiaan) di akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagian kamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerosakan di mukabumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerosakan. [Surah Al-Qasas: 77] Islam juga berbeza dengan agama-agama lain kerana ia tidak memisahkan antara kehidupan jasmani dengan kehidupan rohani, individu dan masyarakat dan unsur-unsur keduniaan dengan keakhiratan. Islam mengajarkan supaya berdoa untuk mendapatkan kebaikan di dunia bersama-sama dengan akhirat. Firman Allah s.w.t.: Bermaksud : Ada di antara manusia yang berdoa,Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami daripada siksaan api neraka. Islam juga mengharuskan manusia mengambil faedah dan menggunakan keperluan-keperluan dunia untuk menuju ke akhirat. Tiada larangan untuk manusia mencari kebahagiaan di dunia asalkan ianya dilakukan secara tidak melanggar adab dan peraturan Allah s.w.t.. Firman Allah s.w.t.: bermaksud : Katakanlah ( Wahai Muhammad ) : Siapakah yang  Ã‚   ( berani ) mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikurniakannya untuk hamba-hambanya, dan demikian juga benda-benda yang baik lagi halal dari rezeki yang dikurniakannya. Katakanlah: Semuanya itu ialah ( nikmat-nikmat ) untuk orang-orang yang beriman ( dan juga tidak beriman ) dalam kehidupan dunia ( Nikmat-nkmat itu pula) hanya tertentu ( bagi orang-orang yang beriman sahaja ) pada hari Kiamat. Demikianlah kami jelaskan ayat-ayat keterangan kami satu persatu bagi orang-orang yang (mahu) mengetahui. Umat Islam harus berusaha demi untuk kesejahteraan hidup keduniaan agar tidak ketinggalan dalam era mengejar kemajuan di dunia. Namun begitu, umat Islam tidak harus lupa bahawa kehidupan di dunia merupakan tempat untuk menguji tahap keimanan seseorang. Di dalam al-Quran dijelaskan: Bermaksud: Patutkah manusia menyangka bahawa mereka akan dibiarkan dengan hanya berkata: Kami beriman   sedangkan mereka tidak diuji (dengan sesuatu cubaan). Demi sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang terdahulu daripada mereka, maka (dengan ujian yang demikian), nyata apa yang diketahui Allah tentang orang-orang yang sebenar-benarnya beriman, dan nyata pula apa yang diketahuinya tentang orang-orang yang berdusta. Harus diingat, di dalam mengejar kepentingan keduniaan, Al-Quran memperingatkan umat manusia agar tidak terperangkap dengan nikmat-nikmat dunia. Ini jelas di dalam firman Allah s.w.t: Bermaksud: Katakanlah bahawa ( yang dikatakan ) kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah ( bawaan hidup yang berupa semata-mata) permainan dan hiburan ( yang melalaikan ) serta perhiasan ( yang mengurang ) , juga ( bawaan hidup yang bertujuan ) bermegah-megah di antara kamu ( dengan kelebihan, kekuatan dan bangsa keturunan ) serta (berlumba-lumba memperbanyakkan harta benda dan anak pinak; semuanya itu terhad waktunya ) samalah seperti hujan yang ( menumbuhkan tanaman yang menghijau subur ) menjadikan penanamnya suka dan tertarik hati kepada kesuburannya, kemudian tanaman itu bergerak segar ( ke suatu masa yang tertentu ), selepas itu engkau melihatnya menjadi kuning, akhirnya ianya menjadi hancur bersepai, dan di akhirat ada azab yang berat ( disediakan bagi golongan yang hanya mengutamakan kehidupan di dunia itu ), dan ( ada pula ) keampunan besar serta keredhaan Allah ( disediakan bagi orang-orang yang mengutamakan akhirat ). Dan ( ingatlah bahawa ) kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kes enangan bagi orang-orang yang terpedaya. Al-Quran meletakkan hirarki kehidupan akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia. Akhirat mesti dijadikan matlamat berserta dengan persediaan yang lengkap di dunia. Sebab itu al-Quran memberi amaran kepada mereka yang mementingkan dunia tanpa membuat persediaan untuk akhirat sebagaimana firman Allah s.w.t : bermaksud; Sesiapa yang keadaan usahanya semata-mata berkehendakkan kehidupan dunia dan perhiasannya   ( dengan tidak disaksikan sama oleh al-Quran tentang sah batalnya ), maka kami akan sempurnakan hasil usaha mereka di dunia, dan mereka tidak dikurangkan sedikitpun padanya. Merekalah orang-orang yang tiada baginya pada hari akhirat kelak selain daripada azab neraka, dan pada hari itu gugurlah apa yang mereka lakukan di dunia, dan batallah apa yang mereka telah kerjakan. Falsafah Tauhid dan Bidang Ekonomi Usaha-usaha kerajaan dalam aspek pembangunan ekonomi adalah selari dengan falsafah dan prinsip program Islam Hadhari. Ia bertujuan untuk melindungi ketidakadilan dalam pemerolehan, perkhidmatan dan penggunaan sumber alam, dengan memenuhi kepuasan manusia untuk melaksanakan tanggungjawab terhadap Allah s.w.t. dan masyarakat keseluruhannya. Keperluan kebendaaan dan kerohanian manusia hendaklah dipenuhi dalam bentuk yang bersepadu. Pendekatan ini memberi tempat yang utama kepada kesepaduan nilai etika dan moral dalam semua keperluan dan tindak-tanduk manusia termasuklah dalam beraktiviti ekonomi. Falsafah tauhid menganjurkan kesatuan dalam ilmu pengetahuan untuk mendidik manusia bagi kebahagiaan hidup (al-saadah) dan keredhaan Allah s.w.t.. llmu ekonomi dan yang berkaitan dengannya turut sama berperanan yang pada akhirnya mendukung martabat dan kemuliaan Islam. Penumpuan pembangunan dalam negara adalah secara bersepadu dan komprehensif dengan penekanan diberikan lebih kepada dimensi kerohanian di samping dimensi kebendaan tidak disisihkan. penghayatan akhlak Islam disertakan dalam semua urusan dan operasi ekonomi. Falsafah tauhid turut mengajar usaha mewujudkan semangat al-adl wa al-ihsan dalam menghayati urusan ekonomi, sesuai dengan firman Allah s.w.t.: yang bermaksud: Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebaikan, serta memberi bantuan kepada kaum kerabat; dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan laranganNya ini), supaya kamu mengambil peringatan mematuhiNya. (Surah al-Nahl: ayat 90) Tauhid juga mendidik manusia supaya sentiasa peka dalam perhubungan mereka dengan penciptaan dengan penggunaan sumber-sumber dengan secekap mingkin, tidak membazir, dan memperhitungkan akibat dari penggunaan sumber-sumber tersebut suoaya kebajikan dapat dijaga. Konsep dan Prinsip Ekonomi Seimbang dan Komprehensif Konsep pertama ialah konsep rububiyyah, yang menekankan sifat Allah s.w.t. sebagai Penguasa yang membuat peraturan dan bertujuan menjaga dan menampung kehidupan makhluk demi kabahagiaan dunia dan Akhirat. Sebagai Pencipta alam semesta ini, hanya Allah s.w.t. sahajakah yang mengerti perjalanan dan pengisian yang terbaik untuk alam dan makhluk-Nya. Lantaran itu segala peraturan da nsistem yang bersumberkan wahyu adalah demi keharmonian, keadilandan kesejahteraan hidup manusia. Dalam ekonomi Islam, terdapat konsep tazkiyah untuk membentuk kesucian jiwa dan ketinggian akhlak melalui pembersihan harta dengan mengeluarkan zakat dan bersedekah. Pembersihan jiwa juga dapat dibentuk dengan mengikis sifat bakhil dan kedekut, tamak haloba dan eksploitasi serta diganti dengan sifat pemurah dan dermawan, zuhd dan qanaah di samping kompromi dan pengagihan sama rata serta sikap saling bekerjasama dan membantu. Pembersihan interaksi dan kemanusiaan dapat diwujudkan dengan peluang-peluang sama rata dalam aktiviti ekonomi atas jalinan silaturrahim tanpa ada unsur-unsur pilih kasih ataupun kerana darjat. Keluhuran konsep ini menjadi natijah daripada pelaksanaan konsep rububiyyah. Segala aktiviti di dunia perlu dilihat dari segi nilai kini bagi natijah pada Hari Akhirat. Oleh sebab hidup di dunia ini berupa cubaan untuk menguji sesiapa yang terbaik amalannya, sama ada amalan keagamaan ataupun keduniaan, dan semua pemberiaan yang tersedia kepada manusia adalah dalam bentuk amanah, manusia bertanggungjawab kepada Allah s.w.t dan kejayaan pada hari Akhirat nanti bergantung kepada prestasinya di dunia. Kerana di dunia ini aktiviti ekonomi merupakan salah satu daripada unsur-unsurnya. Maka soal amanah dan kebertanggungjawaban tidak dapat lari dari dipersoalkan pada Hari Akhirat kelak.Manusia sebagai khalifah Allah merupakan pemegang amanah yang bererti memakmurkan dunia yang masih tidak terputus daripada hubungan dengan unsur-unsur tauhid dan rububiyyah. Tatacara perhubungan sesama manusia adalah asas satu unsur persaudaraan dan kesamaan. Ini akan mendorong kepada nilai-nilai murni dan merujuk keamanan sejagat. Juga harus diingat, dunia ini kepunyaan Allah s.w.t. H arta kepunyaan manusia bukanlah bersifat mutlak, bahkan ia menjadi ujian dan amanah Allah s.w.t Kesedaran pemilikan secara ini akan menjadikan manusia menguruskan pemilikannya secara yang diredhai oleh Allah s.w.t. Prinsip Ekonomi Kebebasan Terhad dan Menurut Nili-nillai Akhlak Islam tidak sahaja memberi kebebasan dalam bidang-bidang ekonomi tetapi ia juga memberi perlindungan terhadap apa yang telah diperoleh. Nilai-nilai akhlak dan sifat-sifat terpuji menjadi asas pengisian prinsip kebebasan. Segala amalan ekonomi yang bertentangan syariah Islamiah dianggap menyalahgunakan pengertian kebebasan.kebebasan. Oleh itu, amalan ekonomi tidak boleh menyalahi peraturan syari ah Islam. Hak Milik Swasta atau Awam Cara mendapat harta haruslah dengan jalan halal (bukan dengan melakukan amalan riba, penipuan, penindasan, rasuah, eksploitasi dan cara-cara lain yang bertentangan dengan Islam). Hasil pendapatan swasta ataupun persendirian hendaklah dikeluarkan zakat atau cukainya untuk sumbangan ke jalan Allah s.w.t. (seperti sedekah, pembinaan sekolah dan sebagainya). Dalam agihan milik swasta hendaklah dielakkan hal-hal yang boleh mengakibatkan perluasan jurang pendapatan dan membahayakan orang lain atau alam sekitar. Campur Tangan Pihak Pengguasa Syari ah Islamiah mengharuskan konsep campur tangan pihak pemerintah dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, sama ada dalam bentuk pengurusan, penyusunan, agihan dan perancangan. Dengan kuasa politik di tangan pemerintah, ia berhak campur tangan dalam ekonomi Negara untuk melindungi dan menjamin kestabilan dan keadilan sosial, dengan syarat ia mesti bersandarkan syari ah. Pihak penguasa yang diberi kepercayaan oleh rakyat bertanggungjawab menjaga dan memelihara peraturan masyarakat secara akhusus untuk menegakkan keadilan Ilahi. Prinsip Keadilan Sosial Prinsip ini ialah asas yang dinamik untuk mengatur dan melaksanakan urusan ekonomi dalam sesebuah masyarakat. Kecemerlangan sistem ekonomi memerlukan sistem penyusunan kegiatan ekonomi yang berteraskan semangat keadilan. Semangat ini memberi ruang kepada semua individu untuk berfungsi secara positif dan optimis. Pengendalian ekonomi dan mekanisme kegiatan ekonomi mesti dapat menuju kea rah wujudnya keadilan ekonomi. Sesebuah Negara pula hendaklah dapat menyediakan keperluan hidup asasi individu melalui pencapaaian-pencapaian berikut: a. Pemeliharaan penghayatan keagamaan melalui penerapan nilai agama dalam semua urusan hidup. b. Menaikkan taraf daya berfikir masyarakat dan kualiti ilmu. c. Memberikan kebebasan dan jaminan perundangan kepada masyarakat supaya menyuarakan pendapat sesuai dengan prinsip shura. d. Jaminan dalam menentukan kebebasan kerjasama pihak swasta dan kerajaan, dalam ataupun luar Negara dalam usaha mengaktifkan modal dan mencetuskan kegiatan dan peluang ekonomi. e. Membina tamadun yang kukuh agar generasi mendatang terus mengecap kecemerlangan. Prinsip Kemuafakatan Islam menekankan semangat muafakat untuk mengurangkan pertelingkahan antara pasangan-pasangan unit ekonomi seperti majikan dengan pekerja, penjual dengan pembeli, pengeluar dengan pengguna, dan sebagainya dalam sistem ekonomi yang berasaskan tauhid. Ini kerana semua unit ekonomi tersebut mempunyai matlamat dan arah yang sama, iaitu mengabdikan diri kepada nilai keadilan dan muafakat yang dituntut oleh agama. Pendekatan ini sekeras-kerasnya menolak pendekatan hidup dalam sistem ideology secular sepertu yang terkandung di dalam falsafah struggle for existence. Islam menekankan cooperation for existence sebagai asas pegangan hidup yang bersesuaian dengan falsafah tauhid. Prinsip Istikhlaf Manusia ialah khalifah Allah di atas muka bumi ini dan pemegang amanah untuk memakmurkan dunia. Semia di dunia ini menjadi hak milik mutlak Allah s.w.t. dan dicipta untuk keprluan manusia. Manusia bertanggungjawab kepada Allah s.w.t. dan apa yang diusaha dan dimiliki. Prinsip ini menggariskan pemilikan harta hendaklah memalui cara yang diredhai Allah s.w.t. penggunaan harta untuk kebajikan pemiliknya dan juga masyarakat, juga melibatkan pengaliran harta dalam apa jua bidang ekonomi. Prinsip Bekerja dan Ganjaran Penglibatan dalam kegiatana ekonomi merupakan ibadah. Setiap penglibatan mestilah diberikan ganjaran yang setimpal. Pemerintah mestilah mewujudkan peluang pekerjaan kepada masyarakat. Riba pula terkeluar daripada prinsip ini kerana ia diperoleh tanpa usaha. Konsep kerja ini akan membawa kepada peningkatan taraf hidup masyarakat yang disertai dengan keadilan pengagihan harta dan kekayaan. Prinsip Keuntungan dan Kerugian Prinsip untung dan rugi adalah lumrah dalam muamalat Islam, bahkan ia juga menjadi asasnya. Berdasarkan prinsip ini, mekanisme seperti mudarabah dan mushakarah digalakkan dalam aktiviti ekonomi. Ia menjamin keadilan di samping menegaskan konsep saling memerlukan antara pengusaha dengan pemilik modal. Prinsip Menjauhkan Pembuatan Merosakkan Islam menganjurkan segala bentuk keruntuhan akhlak, kerosakan diri, kerosakan masyarakat, kepincangan keluarga dan kerosakan alam persekitaran hendaklah dijauhi dalam kegiatan berekonomi. Oleh itu, terdapat perkara-perkara yang diharamkan oleh Islam seperti penindasan, penipuan, pencurian, pencemaran alam, pembaziran dan sebagainya dalam sistem ekonomi Islam. Islam dan Perebutan Peluang Peningkatan Taraf Hidup Islam mengajarkan bahawa dalam melakukan amal ibadah dan menuju ke alam akhirat, dunia ini janganlah diabaikan. Dunia ini menjadi lading ataupun jambatan, manakala matlamat akhir segala aktiviti manusia adalah untuk kejayaan dan kebahagiaan di dunia ataupun akhirat. Firman Allah s.w.t.: Bermaksud: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu (kebahagiaan) di akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagian kamu dari   (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerosakan di mukabumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerosakan. [Surah Al-Qasas: 77] Islam juga mengajarkan kita agar merebut segenap peluang yang ada bagi memajukan diri, masyarakat, negara dan agama sebelum terlambat atau terlepas peluang-peluang itu. Dalam satu sabda Nabi Muhammad s.a.w. diperjelaskan yang maksudnya berbunyi: Rebutlah peluang lima keadaan sebelum datangnya lima yang lain keadaan mudamu sebelum datangnya keadaan tuamu, dan keadaan sihatmu sebelum datangnya keadaan sakitmu, dan keadaanmu dalam keberadaan sebelum datangnya keadaanmu berhajat, dan keadaan lapangmu sebelum datangnya keadaan sibukmu, dan keadaanmu masih hidup sebelum datangnya matimu. (Riwayat Al-Tirmizi) Malaysia sedang mengorak langkah untuk menjadi pusat perkhidmatan kewangan Islam global yang mampu bersaing di persada kewangan antarabangsa. Kita bermula dengan penubuhan Bank Islam Berhad dan kita sedang menuju ke suatu arah yang jelas untuk dicontohi oleh negara lain terutamanya dalam aspek kewangan, perbankan dan ekonomi Islam. Malaysia kini sedang menjadi perhatian negara-negara Islam lain dan menjadi contoh untuk diambil pengajaran oleh negara-negara lain. Bukan sahaja dalam aspek ekonomi Islam kita sedang dipelajari, bahkan Malaysia merupakan peneraju kepada Pertubuhan Persidangan Islam (OIC) yang mana YAB Perdana Menteri adalah pengerusinya. Kita juga adalah negara Islam contoh dan kita juga adalah model negara Islam bermasyarakat berbilang kaum dan mempunyai pelbagai agama. Kejayaan negara kita mengekalkan kestabilan dan keharmonian antara kaum adalah satu rekod yang perlu kita pertahankan dengan kompleksiti kepelbagaian kaum. Dasar-dasar sedia ada di negara kita telah terbukti dan mampu mempertahankan rekod kejayaan keharmonian perpaduan antara kaum yang cukup baik. Kita juga berharap semoga rakyat semua akan dapat bersama Islam Hadhari bagi merealisasikan pemupukan integrasi nasional dan meningkatkan tahap kesetiaan kita kepada negara dan kepatuhan kita kepada undang-undang dan perlembagaan negara. ISLAM HADHARI DAN PERSPEKTIF PENGURUSAN NEGARA ISLAM SERTA PEMBANGUNAN BERSEPADU Pembangunan bersepadu ialah pembangunan yang berasaskan kesepaduan iman, akhlak, kerohanian dan kebendaan. Ilmu-ilmu dan objektif yang berkaitan dengan pembangunan, negara, kemasyarakatan dan manusia tidak dipisah-pisahkan antara satu sama lain. Pembangunan bersepadu juga bersangkutan dengan pembangunan insan yang berpegang pada prinsip-prinsip peraturan Allah dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia sesama manusia, manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dalam konteks ini juga, manusia sebenarnya adalah pemegang amanah Allah. Dunia ini adalah amanah Allah untuk dimanfaatkan dan dimakmurkan mengikut ketentuan yang Allah perintahkan. Usaha-usaha manusia harus dilakukan mengikut landasan-landasan yang ditetapkan oleh Allah s.w.t.. Islam memberikan perhatian yang serius kepada pembangunan insan berbanding dengan pembangunan-pembangunan lain kerana di tangan insanlah terletaknya inisiatif dan perlaksanaan membangunkan bidang-bidang lain. Secara dasarnya, apabila baik (muhsin, muslih, soleh) insan itu maka baiklah juga perlaksanaannya menurut tuntutan Islam. Walau bagaimanapun, ini tidaklah boleh diertikan Islam sebagai mengenepikan pembangunan-pembangunan lain. Islam juga mementingkan pembangunan material, negara, masyarakat dan keluarga. Justeru itu, bidang-bidang ini mesti disepadukan dengan pembangunan insan tadi.   Taqwa merupakan ciri terpenting yang patut terdapat dalam pembangunan. Pembangunan bertaqwa ialah pembangunan yang menjuruskan hati, perasaan dan matlamat kehidupan untuk mematuhi titah perintah Allah s.w.t. dan menjauhi larangannya. Taqwa merupakan paksi pembangunan perspektif Islam. Setiap perbuatan dinilai baik-buruknya berdasarkan neraca Allah s.w.t. dan bukannya manusia. Firman Allah s.w.t.: Perbandingan syurga yang dijanjikan untuk orang yang bertaqwa itu ialah mengalir air sungai di bawahnya, makanannya tidak habis-habis, begitu juga naunganNya. Begitulah kesudahannya orang yang bertaqwa, dan kesudahan orang yang kafir itu ialah api neraka. Menurut Islam, Allah telah melantik manusia sebagai khalifahNya di atas muka bumi ini. Manusia diberikan beberapa kualiti untuk mentadbir dunia dan hal ehwalnya, diberikan tanggungjawab dan amanah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan Allah dengan bentuk fizikal yang terbaik dan bersesuaian.   Justeru itu, pembalasan-pembalasan baik dan buruk akan diberikan oleh Allah s.w.t. berkenaan dengan perlaksanaan tuntutan-tuntutan Allah tadi. Manusia akan dipersoalkan oleh Allah di Akhirat kelak untuk segala aktiviti-aktivitinya yang dijalankan di atas dunia ini. Manusia patut menggunakan seluruh keupayaan akal dan potensinya untuk mendapatkan keredhaan Allah s.w.t. Ringkasnya, segala tenaga dan keupayaannya patut ditumpukan pada membangunkan dunia ini menurut kehendak Allah s.w.t. mengikut cara yang dikehendaki olehNya. Manusia patut bersedia menjawab persoalan-persoalan yang akan ditanya oleh Allah s.w.t. di akhirat kelak berkenaan dengan dirinya, keluarga, jiran, masyarakat, aktiviti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, perundangan, penguatkuasaan undang-undang, urusan pemerintahan, negara, peperangan dan sebagainya. Kejayaan sebenar(Al-Falah) dan pembangunan hanya akan dapat diraih sekiranya manusia memberikan sepenuh tumpuan kehidupannya untuk menjawab persoalan-persoalan ini.  Ã‚   Misi para Nabi adalah mensucikan diri manusia dalam proses-proses pembangunan yang dialami oleh manusia. Konsep (Tazkiyyah) mengambil kira penyucian manusia dalam hubungan-hubungan manusia-Tuhan, manusia sesama manusia, manusia-makhluk dan manusia-alam sekitar. Konsep ini akan mengharmonikan kesejahteraan alam semesta dan manusia dan mempertingkatkan hubungan-hubungan di atas untuk mencapai kejayaan di dunia dan di akhirat. Pembangunan dalam Islam berasaskan Tauhid iaitu hanya Allah s.w.t. dan tiada lainnya yang menjadi dasar keyakinan, objektif hidup dan motivasi memajukan kehidupan, usaha dan perbuatan. Berasaskan paradigma tauhid, segala aktiviti manusia didasarkan kepada otoriti Allah s.w.t. kerana Allahlah sahaja yang mempunyai otoriti mutlak menganugerahkan sesuatu atau menarik balik nikmat itu. Justeru itu, segala aspek berkaitan dengan pembangunan itu mestilah dilandasi mengikut kehendakNya. Islam menganjurkan keseimbangan (al-Tawazun) antara tuntutan dunia dan akhirat. Keseimbangan juga dituntut antara pembangunan rohani dan jasmani, sprituil dan material, akal dan nafsu. Persoalan pembangunan seimbang akan membawa kita kepada persoalan nilai antara dua elemen asas dalam keseimbangan pembangunan menurut perspektif Islam. Tuntutan dunia dan akhirat mestilah berdasarkan kriteria marufat (baik) dan munkarat (buruk atau keji). Pembangunan material haruslah diseimbangkan dengan pembangunan spiritual. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. berkaitan dengan pembangunan negara iaitu negara yang aman makmur mendapat pengampunan Tuhannya(Baldatun taiyyibatun wa rabbun Ghafur). Pembangunan berakhlak ialah pembangunan yang berasaskan misi agung Rasulallah s.a.w. iaitu misi menyempurnakan akhlak yang mulia. Pembangunan berakhlak akan memanifestasikan objektif akhlak itu terancang, tersusun dan terbangun mengikut akhlak Islam. Terdapat sebuah hadis yang memperingatkan tentang akhlak yang boleh dijadikan sandaran perlaksanaan pembangunan berakhlak. Sabda Rasulallah s.a.w. yang maksudnya seperti berikut: Tiga perkara yang menyelamatkan, iaitu takut pada Allah ketika bersendirian dan dikhalayak ramai, berlaku adil pada ketika suka dan marah, berjimat cermat ketika susah dan senang dan tiga perkara yang membinasakan iaitu mengikut hawa nafsu, terlampau bakhil dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri. (Riwayat Abu Syeikh) Keadilan merupakan merupakan salah satu daripada ciri-ciri pembangunan berakhlak. Adil bermaksud meletakkan sesuatu pada tempatnya. Maka pembangunan yang adil ialah pembangunan yang dilakukan bersesuaian dengan tempatnya dalam konteks bernegara, bermasyarakat dan berkeluarga. Manafaat pembangunan mestilah boleh dikecapi secara sama rata sama ada Islam dan bukan Islam, tanpa ada sikap pilih kasih, kronisme, atau sentimen keturunan, bangsa, darjat atau kelas. Penjurusan faedah-faedah ekonomi mestilah ditumpukan ke arah kelompok-kelompok masyarakat yang memerlukan berbanding dengan yang tidak.  Ã‚   YAB Dato Seri Abdullah Haji Ahmad Badawi] menjelaskan: Adalah perlu diteliti semula pelbagai pendekatan dan kaedah untuk diperkemaskan supaya lebih seimbang dan menyeluruh, merangkumi pembangunan prasarana dan pembangunan ekonomi, diperkukuhkan dengan pembangunan manusia melalui program pendidikan yang komprehensif, diperlengkap pula dengan program pembangunan rohani untuk menyemaikan nilai-nilai murni dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. (Ucapan Dasar Presiden UMNO dlm Perhimpunan Agung UMNO 2004 di Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur). Pembangunan berlestari, berhati-hati, mengelakkan pembaziran, kemewahan yang negatif dan perkara-perkara yang tidak berfaedah merupakan tuntutan Islam. Pembangunan haruslah terancang dan mengambil kira kemampuan kewangan negara. Pembangunan yang cenderung untuk mengisi kecenderungan hawa nafsu bukanlah pembangunan yang dituntut oleh Islam.  Ã‚   Pembangunan juga bukanlah alat untuk menonjolkan keangkuhan. Semuanya adalah kurnia Allah jua dengan kehendak dan iradahNya. Dalam konteks ini, konsep syukur merupakan salah satu ciri pembangunan berakhlak. Syukur dikira sebagai tanda terima kasih di atas anugerah Allah s.w.t. dan redha dengan sebarang ketentuanNya. Berterima kasih kepada manusia pula tidak seharusnya melebihiberterima kasih kepada Allah kerana anugerah nikmat itu hanyalah hak Allah. Berterima kasih kepada Allah bukan sahaja dilipatgandakan oleh Allah nikmat-nikmatnya di dunia ini bahkan di akhirat kelak. Kufur nikmat atau tidak melakukan cara bersyukur yang betul apabila menerima sesuatu nikmat atau imbuhan akan mendapat balasan buruk dan azab Allah s.w.t.. Firman Allah s.w.t.: Bermaksud: Demi sesungguhnya sekiranya kamu bersyukur, nescaya Aku akan tambahkan nikmatKu kepada kamu dan sekiranya kamu kufur, sesungguhnya azabKu amatlah keras. Menyentuh soal pembangunan berakhlak, kita tidak akan dapat lari daripada soal disiplin dan semangat ketekunan juga. Mana-mana pembangunan pun tidak akan dapat tercapai tanpa menyentuh soal ketekunan dan disiplin diri. Pembinaan ketamadunan manusia menyentuh soal ketekunan dan berkerja kuat.   Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. menyukai apabila seseorang kamu bekerja dia melakukannya dengan tekun. [Riwayat Abu Daud) Masyarakat yang membangun ialah masyarakat yang bekerja kuat dan ini meningkatkan produktiviti serta memberi kesan yang positif. Justeru itu, pembangunan sambil lewa, lemah perancangan dan tindakan, malas dan curi tulang bukanlah pembangunan dalam ruang lingkup akhlak Islam. Menurut pandangan Islam, harta adalah satu keperluan dan bukannya matlamat. Harta dikira sebagai rezeki daripada Allah maka ia hendaklah dibersihkan dengan mengeluarkan zakat. Ia juga dianggap sebagai satu amanah, maka ia hendaklah diperolehi dan dibelanjakan mengikut tuntutan Islam. Kualiti pembangunan menurut Islam adalah gabungan daripada pembangunan bersepadu, seimbang dan berakhlak. Inilah merupakan perbezaan ketara pembangunan perspektif Islam dan pembangunan Barat. Pembangunan berihsan juga di perlukan dalam konteks pembangunan negara. Apa yang dimaksudkan dengan pembangunan berihsan ialah pembangunan yang dianggap segala tindakan dan perlaksanaan di dalamnya sentiasa di bawah pemantauan Allah s.w.t.. Oleh kerana pembangunan yang menjurus kepada mendapatkan keredhaan Allah s.w.t. dianggap sebagai ibadah, maka pembangunan berihsan menepati konsep ihsan yang menjelaskan bahawa kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatNya, sekiranya kamu tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu. Di dalam hadith yang lain berkenaan ihsan, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: Allah telah mewajibkan ihsan pada setiap sesuatu Allah mewajibkan kita berbuat kebaikan dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Dalam konteks pembangunan, konsep ihsan harus diaplikasikan dalam setiap perancangan dan perlaksanaannya yang mengambil kira keperluan dan mereka yang memerlukan, ihsan terhadap sesama manusia, ihsan terhadap makhluk dan alam sekitar. Etika Dalam Pembangunan Di dalam Islam, pembangunan tidak akan mempunyai sebarang erti seandainya pembangunan yang dimaksudkan hanyalah berunsurkan material semata-mata. Bahkan pembangunan yang berunsurkan material merupakan asas utama dalam falsafah pembinaan pembangunan dan tamadun Barat.  Ã‚   Di sini dibawa satu kisah daripada al-Quran berkenaan kaum Ad yang menikmati pembangunan yang cukup pesat dan maju pada zaman mereka. Mereka dikurniakan bangunan rumah-rumah di tanah mendatar yang dipahat dari gunung, tanah yang cukup subur, ternakan yang membiak dengan senang dan taman-taman yang indah-indah. Maknanya mereka dianugerahkan Allah kemakmuran dan kesenangan hidup yang tiada taranya pada zaman itu. Namun demikian, mereka tidak menyembah Allah s.w.t.. Yang disembah ialah patung dan berhala. Nabi Hud a.s. diutus untuk berdakwah kepada mereka dengan ajakan agar beriman kepada Allah s.w.t. yang mencipta mereka dan menganugerahkan kemakmuran itu kepada mereka. Allahlah sahaja yang layak disembah dan disyukuri. Dalam dakwahnya juga, Nabi Hud telah menjelaskan betapa mereka telah meletakkan diri mereka ke lembah kehinaan dengan menyembah patung berhala yang tidak dapat memberi apa-apa faedah dan keburukan kepada mereka bahkan mereka telah meletakkan diri mereka sebagai makhluk mulia di sisi Allah s.w.t. serendah-rendahnya. Mesej yang ingin disampaikan di sini ialah betapa pembangunan itu adalah anugerah Allah s.w.t. jua dan ia mestilah disyukuri dan pembangunan itu apabila diteliti betul-betul adalah dengan izin Allah jua. Justeru itu ia juga adalah merupakan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah s.w.t. bagi orang-orang yang berfikir dan meningkatkan keimanan kepada Allah s.w.t.. Kemuliaan penciptaan manusia mestilah dibuktikan dengan keimanan kepada Allah sebenar-benarnya dengan cara menjunjung titah perintahnya d

Friday, October 25, 2019

Grapes of Wrath :: Essays Papers

Grapes of Wrath: In the beginning of the novel The Grapes of Wrath, the Joads are faced with the challenge of traveling rout 66 all the way to California. This is their solution for being tractored off their land and having no way to support the large family. This challenge is similar to the depression in 1929, when many people lost their jobs, home, and their whole life. The last of the family, the few left in end of the book represent the survivors of the depression. I don’t believe that the ending was adequate because it could have stated the struggle much more dramatically to prove a stronger point. In the beginning of the Joads journey they have their arms ready with hope of a brighter life and a little over a hundred bucks. Their journey truly begins when they are tractored off the land by a man on a machine. â€Å" The man was an extension of the machine.† This quote demonstrates the loss of individuality; the man was nothing but a pawn in industrial game. Throughout the journey to California they run across many other people just like them, aiming for the same goal, California. This parallels to the depression again in how the large amounts of people, that were broke, hungry, and homeless, were all looking for the same goal, a better life. Ma’s quote, â€Å" Use’ ta be the fambly was fust. It ain’t so now. It’s anybody worse off we get, the more we got to do.† ,shows how the family lost it’s â€Å"fire† or strive. Ma is saying that even when the â€Å"fambly† was fussing about things they still were lively, unlike now, they have no motivation and they are in a dead state of overwhelmed foresight. Ma is doing all that she can to not only keep the family together, but also keep the family going in the right direction while dealing with her own issues of constant overwhelming defeat. The novel closes with Rosa of Sharon offering her dead baby’s breast milk to a stranger, the father of a boy the Joads found leaning over him. While committing the gesture a â€Å"mysterious† smile crosses her lips. These closing lines signify the Christian belief that Jesus gave holy communion, his own flesh and blood, like Rosa of Sharon gave her milk.

Thursday, October 24, 2019

Palliative Care Essay

Culture is a fundamental part of one’s being which along with spirituality play a significant role in a person’s journey through life. Health beliefs may be strongly tied to a person’s cultural background and spiritual or religious affiliation. Palliative care is the active holistic care of terminally ill patients which demands to maintain the quality of life addressing physical symptoms as well as emotional, spiritual and social needs. This very nature of the palliative care poses challenges to health care workers when addressing a culturally diverse population. Australia is the most multicultural country in the world where its population ranges from the descendants of Aboriginal and Torres Strait Islander people to migrants or of descendants of migrants from more than 200 countries. The aim of this essay is to discuss the importance of providing spiritually and culturally competent care for a person and their family receiving palliation. This essay also discuss es how importance is to focus these principles to the culture of Aboriginal and Torres Strait Islander people with regards to death and dying. World Health Organisation defines palliative care as â€Å" an approach that improves the quality of life of patients and their families facing with life threatening illness through the prevention and relief of suffering by means of early identification and impeccable assessment and treatment of pain and other problems, physical, psychosocial and spiritual†(WHO,2009) . According to Matzo & Sherman (2010) the culture and spirituality are among the most important factors that structure human experience, values and illness patterns and determine how a person interact with the healthcare system. Moreover a person’s beliefs, values, rituals, and outward expressions can impact palliative care either positively or negatively. According to Brown & Edwards (2012) people experiencing the inevitability of death are in need of care givers who are knowledgeable about personal issues and attitude that affect the end of life experience. An adequate understanding of cultural and spiritual matters is vital and beneficial when focussing on dying person’s family needs and wants. According to Geoghan (2008) perception differ among culture in issues such as use of medication, personal space and touching, dietary issues, whether to be cared at home or seek health care facility. Long (2011) states that when determining the decision making and disclosures culture has a significant role to play with spiritual or religious implications. Brown & Edwards (2012) states that culturally expressions physical symptoms especially pain differs in different cultures and leads to ethnic minority groups are often being undertreated in terms of pain medication. Moreover, nonverbal cues such as grimaces, body positions and guarded movements also significance in providing culturally competent care.Ferrell &Coyle (2010) states language has an important role in streaming communication patterns and style between health providers and patients and lack of effective communication may mean less than satisfactory exchanges between health providers, patients and their families in a multicultural society. According to Matzo & Sherman(2010) spirituality is a way to be connected with God as well as to self, fellow human beings and to nature. Moreover, when the terminally ill patients go through critical life adjustments, spirituality considered to be as a domain of palliative care which serves as the binding force for physical, social, and psychological domains of life. According to Ferrell &Coyle (2010) majority of the palliative patients may experience a growth in spirituality and considers spirituality to be one of the most important contributors to quality of life and frequently used as helpful coping strategies for their physical illness. Furthermore, the family caregivers of seriously ill patients also find comfort and strength from their spirituality and considerably assist them in coping .At the same time many of such patients with their uncertainty of life, long term nature of illness, potential for pain, altered body image and confrontation of death may lead to spiritual distress as well (Matzo & Sherman, 2010). Spiritual care is an important factor for both those expressing spiritual wellness and those experiencing spiritual distress during their period of illness (Amoah, 2011). Matzo & Sherman (2010) states that spirituality facilitate coping with chronic pain, disability, sense of illness and provides strength and self-control and thus reduce the anxiety and depression. Furthermore, those who participate in religious services and ceremonies experience a relief from their loneliness and isolative life style and such practices may generate significant support and peace in difficult times for the patient and their family. Brown & Edwards (2012) states that assessment of spiritual need in palliative care is a major factor because spiritualty is not necessarily equate religion and a person do not have particular faith or religion may have deep spirituality. According to Brown & Edwards (2012) awareness and sensitivity to cultural beliefs and practices regarding death and dying is vital when caring end of life patients, especially in a multicultural societies such as Australia. Ferrell & Coyle (2012) states that in spite of strong government initiatives, Aboriginal and Torres Strait Islander people remain a marginalised group with health status significantly below that of other Australians. Consequently Aboriginal and Torres Strait Islander people have high rate of mortality and premature death (McGrath & Philips, 2009). Furthermore, Ferrell & Coyle (2012) states that while addressing palliation of Aboriginal and Torres Strait Islander people, culturally responsive model of palliative care to be delivered and traditional practices that surrounds care of dying people and death are understood, respected and incorporated in to care. According to Thackrah & Scott (2011) an understanding of cultural, practices, protocols and customs with rega rds loss and grief is of topmost priority when dealing with traditional aboriginal men and women. According to Queensland Health (2013) Aboriginal and Torres Strait Islander have strong cultural and spiritual concepts about the cause of diseases and death which may conflict with Western explanations and diagnosis of illnesses. According to McGrath & Philips (2008), though the Indigenous Australians adopted many aspects of the non-Indigenous culture over the years, their expectations and rituals around end of life still mostly well connected to their land, culture and tradition. Most of the Aboriginal people have a strong wish to die at home with family, surrounded by their ‘Country’ and in their own community where their spirit belongs (O’Brien &Bloomer, 2012). According to Thackrah & Scott (2011), most people dislike the hospital environment because they believe in the hospital they may experience isolation, structural racism and disempowerment. Since death in a hospital can create stress in the family along with fear and disputes, family protocols to be strictly followed and they have to be given space to finish up with dignity and compassion. During a situation of an expected death of an Aboriginal or Torres Strait Islander person, there is usually a gathering of immediate and extended family and friends which are a mark of respect of the patient. Based on the belief that life is a part of a greater journey, it is cultural practice to prepare the person for the next stage in their journey and often the extent of gatherers correlates with the patient’s value to the community. The passing of an elder may induce immense grief and mourning upon the whole community, hence expect many visitors and a grand funeral ceremony that reflects the respect. According to Thackrah & Scott(2011),When a death occurs in traditional indigenous communities in Australia, community members and visiting relatives from elsewhere move away from settlements into a special place called ‘‘sorry camp’’. Also the Indigenous way of grieving is a long process with different phases not only consoling each other but by tradi tional ways of harming themselves. Palliative care is truly a holistic care delivered to patients and family members with life threatening illness by providing physical as well as emotional and spiritual support. It is evident that culture and spirituality are central to palliative care which must be given due consideration at every point of assessing and planning care for patients and families. Although spiritual beliefs might help most people to cope well in the face of illness, for other people such beliefs may be ineffective or problematic. Since health beliefs are strongly associated with culture and spirituality it is critical that healthcare professionals understand and implement best practices in attending to cultural and spiritual needs during their illness journey. The death and dying in Aboriginal and Torres Strait Islander people have a crucial cultural significance and health professional must be competent in religious and cultural practices when addressing palliative care. Reference List AmoahC.F. (2011).The central importance of spirituality in Palliative care. International Journal of Palliative Nursing, 17,353-358.Retreived from http://ea3se7mz8x.search.serialssolutions.com.ezproxy.uws.edu.au/?V=1.0&pmid=21841704 Brown, D., and Edwards, H. (2012).Lewis’s Medical-surgical nursing (3rd ed.). Chatswood, Elsevier Australia. Ferrell, B.R., & Coyle, N. (2010).Oxford textbook of Palliative Nursing. NewYork, Oxford university press. Geohan, D.A. (2008).Understanding palliative care nursing. Journal of Practical Nursing, 58.6 Retrieved from http://search.proquest.com.ezproxy.uws.edu.au/docview/228052494/fulltextPDF?accountid=36155 Long, C.O. (2011).Cultural and spiritual considerations in palliative care. Journal of Paediatr Hematol Oncol, 33, S-96-101 doi: 10.1097/MPH.0b013e318230daf3. Matzo,M.,& Sherman,D.W.(2010). Palliative care nursing-Quality of care to the end of life (3rd ed.) New York, Springer. McGrath, P. & Phillips, E. (2008). Insights on end-of-life ceremonial practices of Australian Aboriginal peoples. Collegian, 15, 125 – 13.Retreived from http://www.nursingconsult.com.ezproxy.uws.edu.au/nursing/journals/1322-7696/full-text/PDF/s1322769608000243.pdf?issn=1322-7696&full_text=pdf&pdfName=s1322769608000243.pdf&spid=21611429&article_id=708072 McGrath, P. & Phillips, E. (2009). Insights from the Northern Territory on Factors That Facilitate Effective Palliative Care for Aboriginal Peoples. Australian Health Review, 33,636-644.Retreived from http://search.informit.com.au.ezproxy.uws.edu.au/documentSummary;dn=301730371388187; res=IELHEA> ISSN: 0156-5788 O.brien,A & Bloomer,M.(2012). Aborginal palliative care and mainstream services.Australian Nursing Journal ,20,39.Retrieved from http://search.informit.com.au.ezproxy.uws.edu.au/fullText;dn=993462370312798;res=IELHEA Queensland Health. (2013). Sad news, sorry business- Guideline for caring Aboriginal and Torres Strait Islander people through death dying Retrieved from http://www.health.qld.gov.au/atsihealth/documents/sorry_business.pdf Ulrik, J., Foster, D., &Davis, V. (2011). Loss, Greif, Bad luck and sorry business. In R.Thackrah, &Scott (1st Ed.) Indigenous Australian health and Culture (190-2008). Frenchs Forrst,Pearson Australia. World Health Organization. (2009). WHO definition of palliative care, Retrieved from http://www.who.int/cancer/palliative/definition/en/

Tuesday, October 22, 2019

Measure Distances on a Map (How to Steps)

Measure Distances on a Map (How to Steps) Maps are useful for more than just directions. They can also help you determine the distance between two (or more) places. The scales on a map can be different types, from words and ratios to pictorial. Decoding the scale is the key to determining your distance. Heres a quick guide on how to measure distances on a map. All youll need is a ruler, some scratch paper, and a pencil.   Heres How Use a ruler to measure the distance between the two places. If the line is quite curved, use a string to determine the distance, and then measure the string.Find the scale for the map youre going to use. It might be a ruler bar scale or a written scale, in words or numbers.If the scale is a word statement (i.e. 1 centimeter equals 1 kilometer) then determine the distance by simply measuring with a ruler.  For example, if the scale says 1 inch 1 mile, then for every inch between the two points, the real distance is that number in miles. If your measurement is 3 5/8 inches, that would be 3.63 miles.If the scale is a representative fraction (and looks like 1/100,000), multiply the distance of the ruler by the denominator, which denotes distance in the ruler units. The units will be listed on the map, such as 1 inch or 1 centimeter. For example, if the map fraction is 1/100,000, the scale says centimeters, and your points are 6 centimeters apart, in real life theyll be 600,000 centime ters apart or 6 kilometers.   If the scale is a ratio (and looks like this 1:100,000), youll multiply the map units by the number following the colon. For example, if you see 1:63,360, that is 1 inch 1 mile on the ground.For a graphic scale, youll need to measure the graphic, for example, white and black bars, to determine how much ruler distance equates to distance in reality. You can either take your ruler measurement of the distance between your two points and place that on the scale to determine real distance, or you can use scratch paper and go from the scale to the map.To use paper, youll place the edge of the sheet next to the scale and make marks where it shows distances, thus transferring the scale to the paper. Then label the marks as to what they mean, in real distance. Finally, youll lay the paper on the map between your two points to determine the real-life distance between them.After youve found out your measurement and compared with the scale, youll convert your units of measurement into the most convenient units for you (i.e., convert 63,360 inches to 1 mile or 600,000 cm to  6 km, as above). Look Out Watch out for maps that have been reproduced and have had their scale changed. A graphic scale will change with the reduction or enlargement, but other scales become wrong. For example, if a map was shrunk down to 75 percent on a copier to make a handout and the scale says that 1 inch on the map is 1 mile, its no longer true; only the original map printed at 100 percent is accurate for that scale.